Advertisemen
Baca Juga Artikel Lainnya
Kerajaan Arab Saudi telah memenggal leher Ruyati binti Satubi Saruna, TKI (tenaga kerja Indonesia) asal Kampung Serengseng Jaya, Sukadarma, Sukatani, Bekasi. Celakanya, kabar duka yang menyayat perasaan bangsa Indonesia itu kita peroleh bukan lewat perwakilan diplomatik kita, baik duta besar maupun konsul jenderal RI di sana. PEMERINTAH RI kembali kecolongan.
Kabar eksekusi mati yang penuh ketidakadilan itu diketahui publik Indonesia lewat situs berita di internet. Kita pun cuma berteriak histeris dan berencana menggelar demo. Sebegitukah kita (terutama pemerintah) bersikap terhadap ketidakadilan hukum di negara lain?
Bicara hukum, dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur undang-undang dan peran hakim sebagai corong undang-undang semata (letterkenechten der wet ) demi terciptanya kepastian hukum. Dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja. Hakim harus mampu merespons perkembangan dalam masyarakat.
Sebagai bangsa yang besar dan memiliki problem yang begitu banyak, kita telah terlena untuk melakukan pembaruan hukum, dimulai dari hal paling kecil, yakni memperbaiki prasyarat kerja bagi WNI yang menjadi TKI. Seharusnya, mereka dibekali pengetahuan cukup tentang budaya dan perilaku negara yang dituju, termasuk hukum yang berlaku di sana.
Dalam banyak kasus, hukum di Negara Saudi Arabia seperti hukum pancung sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai hukum modern atau progresif karena melibatkan pihak ketiga, yakni keluarga korban dan pelaku bisa melakukan upaya perdamaian. Artinya, dalam kondisi tertentu, tekanan pada perasaan/kesadaran hukum rakyat tidak sama dengan aksara mati pada undang undang. Sesungguhnya, pintu perdamaian dengan keluarga itu bisa "dimainkan" pada hukuman mati, termasuk dalam kasus Ruyati.
Pada tataran praktis, menurut Savigny, tentang kodifikasi yang merupakan rasio melawan tradisi, sejarah melawan pembaruan, tindakan-tindakan manusia yang kreatif dan disengaja melawan pertumbuhan lembaga-lembaga (institution ) secara organisatoris memiliki kaitan yang begitu erat.
Intinya, tesis Savigny sebagai berikut: Bahwa semua hukum asal mulanya terbentuk dari kaidah, kebiasaan, bahasa dibentuk. Mula-mula berkembang melalui kebiasaan dan keyakinan rakyat, kemudian menjadi ilmu hukum. Jadi, di mana-mana berawal dari kekuatan-kekuatan intern yang bekerja secara alami. Bukan melalui kesewenang-wenangan dari pembuat undang undang.
Hukum tidaklah mempunyai daya laku atau penerapan yang universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku, dan konstitusi. Savigny menekankan kesejajaran antara bahasa dan hukum. Namun, kedua-duanya tidak bisa diterapkan kepada bangsa-bangsa dan negeri lain . "Volkgeist" (Jiwa bangsa) pada bangsa menjelmakan dirinya pada hukum rakyat setempat.
Karena itu, perlu kita mengikuti perkembangan volkgeist melalui penelitian sejarah hukum.
Doktrin-doktrin pokok dari mazhab sejarah sebagaimana diutarakan Savigny dan para
pengikutnya. Paparan Savigny dapat disimpulkan sebagai berikut: Hukum yang mulai tumbuh
sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat primitif ke arah hukum yang
lebih kompleks dalam peradaban modern mengakibatkan kesadaran hukum rakyat tidak dapat lagi
menjelma secara langsung, tetapi diwakili oleh sarjana hukum, yang merumuskan prinsip-
prinsip hukum secara teknis.
Dengan begitu, sarjana hukum tetap merupakan alat kesadaran rakyat yang bertugas untuk memberikan
bentuk dari bahan-bahan mentah yang didapatnya. Pembentukan undang-undang adalah hal yang terakhir; oleh karena itu, para sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting/berperan daripada pembuat undang-undang/DPR.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum tentang perilaku (behavioral jurisprudence) adalah suatu studi yang mempelajari tingkah laku aktual masyarakat dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian tidak terletak pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan peran-peran sosial masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berpihak kepada keadilan. Bukan semata-mata berpegang kepada teks hukum. Dan itulah, yang tidak pernah kita lakukan hingga hari ini.
Lain halnya dengan Arab Saudi yang menganut hukum progresif atau modern seperti yang dikatakan Savigny, karena melibatkan pihak ketiga (keluarga korban bisa menentukan hukuman). Seharusnya, pemerintah Indonesia, dalam kasus Ruyati, memanfaatkan celah itu. Kedubes kita di sana semestinya secara gencar bisa melakukan upaya-paya hukum, termasuk berbicara dengan keluarga korban (warga Arab Saudi), untuk menyelamatkan Ruyati dari tiang gantung.
Penerapan hukum progresif Arab Saudi bisa kita lihat pada kasus Darsem yang juga divonis mati. Keluarga korban Darsem sudah memberi lampu hijau untuk memaafkan. Ini pun masih menjadi taruhan bagi pemerintah Indonesia.
Kabar eksekusi mati yang penuh ketidakadilan itu diketahui publik Indonesia lewat situs berita di internet. Kita pun cuma berteriak histeris dan berencana menggelar demo. Sebegitukah kita (terutama pemerintah) bersikap terhadap ketidakadilan hukum di negara lain?
Bicara hukum, dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur undang-undang dan peran hakim sebagai corong undang-undang semata (letterkenechten der wet ) demi terciptanya kepastian hukum. Dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja. Hakim harus mampu merespons perkembangan dalam masyarakat.
Sebagai bangsa yang besar dan memiliki problem yang begitu banyak, kita telah terlena untuk melakukan pembaruan hukum, dimulai dari hal paling kecil, yakni memperbaiki prasyarat kerja bagi WNI yang menjadi TKI. Seharusnya, mereka dibekali pengetahuan cukup tentang budaya dan perilaku negara yang dituju, termasuk hukum yang berlaku di sana.
Dalam banyak kasus, hukum di Negara Saudi Arabia seperti hukum pancung sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai hukum modern atau progresif karena melibatkan pihak ketiga, yakni keluarga korban dan pelaku bisa melakukan upaya perdamaian. Artinya, dalam kondisi tertentu, tekanan pada perasaan/kesadaran hukum rakyat tidak sama dengan aksara mati pada undang undang. Sesungguhnya, pintu perdamaian dengan keluarga itu bisa "dimainkan" pada hukuman mati, termasuk dalam kasus Ruyati.
Pada tataran praktis, menurut Savigny, tentang kodifikasi yang merupakan rasio melawan tradisi, sejarah melawan pembaruan, tindakan-tindakan manusia yang kreatif dan disengaja melawan pertumbuhan lembaga-lembaga (institution ) secara organisatoris memiliki kaitan yang begitu erat.
Intinya, tesis Savigny sebagai berikut: Bahwa semua hukum asal mulanya terbentuk dari kaidah, kebiasaan, bahasa dibentuk. Mula-mula berkembang melalui kebiasaan dan keyakinan rakyat, kemudian menjadi ilmu hukum. Jadi, di mana-mana berawal dari kekuatan-kekuatan intern yang bekerja secara alami. Bukan melalui kesewenang-wenangan dari pembuat undang undang.
Hukum tidaklah mempunyai daya laku atau penerapan yang universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku, dan konstitusi. Savigny menekankan kesejajaran antara bahasa dan hukum. Namun, kedua-duanya tidak bisa diterapkan kepada bangsa-bangsa dan negeri lain . "Volkgeist" (Jiwa bangsa) pada bangsa menjelmakan dirinya pada hukum rakyat setempat.
Karena itu, perlu kita mengikuti perkembangan volkgeist melalui penelitian sejarah hukum.
Doktrin-doktrin pokok dari mazhab sejarah sebagaimana diutarakan Savigny dan para
pengikutnya. Paparan Savigny dapat disimpulkan sebagai berikut: Hukum yang mulai tumbuh
sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat primitif ke arah hukum yang
lebih kompleks dalam peradaban modern mengakibatkan kesadaran hukum rakyat tidak dapat lagi
menjelma secara langsung, tetapi diwakili oleh sarjana hukum, yang merumuskan prinsip-
prinsip hukum secara teknis.
Dengan begitu, sarjana hukum tetap merupakan alat kesadaran rakyat yang bertugas untuk memberikan
bentuk dari bahan-bahan mentah yang didapatnya. Pembentukan undang-undang adalah hal yang terakhir; oleh karena itu, para sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting/berperan daripada pembuat undang-undang/DPR.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum tentang perilaku (behavioral jurisprudence) adalah suatu studi yang mempelajari tingkah laku aktual masyarakat dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian tidak terletak pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan peran-peran sosial masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berpihak kepada keadilan. Bukan semata-mata berpegang kepada teks hukum. Dan itulah, yang tidak pernah kita lakukan hingga hari ini.
Lain halnya dengan Arab Saudi yang menganut hukum progresif atau modern seperti yang dikatakan Savigny, karena melibatkan pihak ketiga (keluarga korban bisa menentukan hukuman). Seharusnya, pemerintah Indonesia, dalam kasus Ruyati, memanfaatkan celah itu. Kedubes kita di sana semestinya secara gencar bisa melakukan upaya-paya hukum, termasuk berbicara dengan keluarga korban (warga Arab Saudi), untuk menyelamatkan Ruyati dari tiang gantung.
Penerapan hukum progresif Arab Saudi bisa kita lihat pada kasus Darsem yang juga divonis mati. Keluarga korban Darsem sudah memberi lampu hijau untuk memaafkan. Ini pun masih menjadi taruhan bagi pemerintah Indonesia.
SUMBER:
Advertisemen